Foto mas Fully yang masuk TOP 100 Photos of 2014 TIME. Salut |
Alasan saya memilih kedua media ini yaitu, pertama, mereka menyediakan rubrik khusus yang memuat kumpulan foto-foto terbaik di 2014. Kedua, kredibilitas media tersebut sering kali menjadi acuan media lain. Ketiga, keinginan untuk membandingkan 2 media yang sama-sama berasal dari Amerika. Keempat, ingin mengetahui variasi visual, isu, kategorisasi dari foto-foto yang dipilih. Untuk pengumpulan data, saya melakukan screenshot dari setiap foto karena saya ingin menampilkan caption dari foto-foto tersebut dan itu merupakan data primer saya. Jumlah foto dari TIME adalah 99 sedangkan NYtime 100.
Dalam melakukan kategorisasi, setiap foto mendapatkan single-treatment sehingga satu foto tidak saya masukkan kedalam 2 kategori sekaligus. Foto yang sudah masuk kategori Sport tidak akan saya masukkan kedalam kategori features (memang dalam sport terdapat sport-features). Saya hanya ingin mengetahui secara umum saja. Untuk tabel yang pertama, saya mengelompokkan semua foto menjadi tiga kategori, yaitu Spot/Hard News, Features dan Sport. Berikut adalah hasil dari coding yang saya lakukan:
Foto yang paling banyak dipilihan oleh editor kedua media tersebut adalah foto dengan kategori spot/hard news. TIME menampilkan 67 foto sedangkan NYtime 57 foto. Dalam kategori ini kedua media memuat berbagai isu, seperti ebola, imigran gelap, MH270, kerusuhan Ukrania, pencari suaka, ISIS, konflik di jalur Gaza. Gunung Sinabung dan Kasodo Bromo juga masuk dalam pilihan editor TIME. Akan lebih baik jika saya juga melakukan konten analisis untuk mengetahui detail variasi isu yang dipilih.
NYtime menampilkan 36 foto features sedangkan TIME menampilan 26 foto features. Yang menarik adalah TIME memilih satu foto wedding di Haifa, Israel. Ini adalah kali kedua saya mengetahui foto wedding bisa menjadi sebuah pilihan di dalam media. Yang pertama adalah ketika dalam program PPG (Permata Photojournalist Grant) Sasa Kralj, freelance Kroasia, menyampaikan materi caption yang memuat foto wedding di Afrika. Menjadi pelajaran penting bahwasanya wedding bisa memuat news value yang tidak terpikirkan oleh pewarta foto pada umumnya. Ini juga menjadi masukan penting untuk saya pribadi yang sering motret wedding.
Untuk foto sport mendapat porsi yang kecil, yaitu 6 foto di TIME dan 7 foto di NYtime. Untuk foto sport saya lebih tertarik mangamati bagaimana foto Neymar ditandu keluar karena cedera saat Brazil berhadapan dengan Colombia di Piala Dunia silam. Sementara media kita bolanews.com memilih foto selebrasi Neymar di piala dunia sebagai salah satu foto terbaik 2014. Perbedaan cara pandang seorang editor tampaknya harus diketahui oleh fotografer. Beda editor memang beda visual style dan konten yang dipilih.
Selanjutnya saya membandingkan figur-figur apa saja yang ditampilkan dalam foto-foto pilihan editor TIME dan NYtime. Saya memilih lima kategori, yaitu: figur presiden, figur anak kecil, figur mayat, ekspresi kesedihan, dan yang tidak menampilkan manusia. Berikut adalah hasil coding saya:
Dari data yang saya hasilkan, tampak perbedaan jumlah figur yang ditampilkan oleh kedua media. Dari semua foto yang ada, saya sangaja menarik figur mayat untuk saya bandingkan. Dari 99 foto, TIME menampilkan 8 foto dengan menampilkan figur mayat sedangkan NYtime 5 foto yang menampilkan mayat dari 100 foto. Terlepas dari etika, terdapat sebuah keberanian seorang editor menampilkan foto dengan visual mayat, baik itu implisit ataupun eksplisit. Selain mayat, yang menjadi pusat perhatian saya adalah 20 foto TIME yang tidak menampilkan manusia sebagai subjek. Adalah Glenna Gordon, fotografer yang kerap sekali menampilkan still-life saat liputan di berbagai negara, seperti Ukrainia, Nigeria danSyria. Termasuk figur catur yang dibuat dari kertas oleh tawanan ISIS yang membuat editor TIME memilih foto tersebut.
Coding berikutnya saya tekankan pada visualisasi dan format foto. Terdengar sepele memang jika hanya format foto yang saya kategorisasikan. Namun hasil berbicara lain. Mari kita lihat hasilnya:
Foto warna tampil dominan serta format horisontal masih menjadi favorit para editor, hanya 1 foto dengan format verkital yang dipilih oleh TIME dan NYtime. Data ini menunjukkan bahwa foto dengan format horisontal memiliki kelebihan dalam menampilkan berbagai elemen visual yang mendukung sebuah cerita dibalik foto. Yang menjadi catatan penting adalah tidak ada penggunaan lensa super-wide yang menyebabkan subjek di pinggir foto bengkok terdistorsi. Hal yang kontras terjadi di Indonesia. Euforia menggunakan super-duper-wide-lens membuat manusia distorsi sana-sini dan masuk koran pula. Keren untuk artistik, namun mungkin editor luar negeri menganggap artistik adalah faktor kesekian setelah konten. Ada editor yang suka distorsi ada pula yang tidak. Memang foto sangat tergantung selera siapa yang memandang dan siapa yang memilih.
Data-data yang saya sajikan memang belum 100% reliabel dan valid karena belum ada coder yang lain yang mengkonfirmasi sudut pandang saya. Namun ini menjadi catatan penting untu kita semua. Saya sangat bangga ketika foto mayestik BROMO mas Fully Syafi masuk dalam jajaran foto TOP 100 TIME. Saya bangga karena beliau adalah kakak kelas saya, kakak pembina saya di JUFOC, kakak yang pernah mereview foto saya dan berkata "fotomu gak koran banget", dan kata-kata itu masih teringat sampai sekarang. Dalam TOP 100 kali ini terdapat 2 fotografer Indonesia yang masuk. BANGGA. Ini lebih membanggakan karena Indonesia bisa bersaing dengan negara-negara lain, meskipun tanpa hadiah atau piala. Penghargaan seperti ini yang seharusnya mulai diterapkan di Indonesia. Apakah di Indonesia tidak ada penghargaan non-formil seperti ini? Saya melihat di website biro Antara, hanya ada 6 foto yang sudah lama. Semoga saya yang salah karena tidak berhasil mencari foto terbaik yang ada di Indonesia. Namun tetap saja saya kurang sreg, mengapa media di Indonesia yang sudah ada versi online-nya tidak membuat penghargaan semacam ini. Sepertinya akan keren jika mendengar TOP 100 foto 2014 versi Kompas.com, versi Tempo.co versi Republika, versi Sindo dll. Apakah pewarta foto Indonesia hanya menunggu APFI saja yang diadakan setiap tahunnya? Tidak adakah tempat sebagai apresiasi pewarta foto semacam yang dilakukan TIME dan NYtime secara online ini? Lalu sempat terbesit sebauh pertanyaan diakhir tahun 2014 ini, Dimanakah EDITOR FOTO media online Indonesia?
Selamat tahun baru 2015
Radityo Widiatmojo
0 Response to "Content Analysis: Top 100 Photos of 2014 dan The Year in Picture NYtime 2014"
Posting Komentar