Tahun lalu, ketika hendak motret sebuah wedding di Balai Kartini, saya bertanya kepada teman saya, "Kalau mau beli koran dimana ya di deket sini?" Lalu teman saya menjawab "buat apa beli koran?". Oke deh lalu saya pergi ke pinggir jalan raya, lalu saya bertanya kepada penjual minuman, "bang, beli koran di deket sini dimana ya?" Lalu jawaban yang sama saya terima, "buat apa bang beli koran?". Oke stop. Hari itu saya tidak jadi membeli koran, tidak ada yang mendukung. Menarik untuk dicermati adalah komentar mereka, salahkah? TIDAK.
Kita hidup di dunia yang penuh dengan imaji. Dari bangun tidur kita sudah melihat lini masa sosial media yang dipenuhi dengan beragam jenis foto. Dijalanan kita disuguhi berbagai gambar raksasa yang mengajak kita untuk menjadi konsumtif. Setiap hari kita mengambil foto sebelum makan, dan mungkin lupa berdoa, atau berdoa agar fotonya banyak mendapat like di sosial media. Sebelum bobok juga lihat lini masa sosial media. The power of image. Sungguh durjana ya. Sampai-sampai filusuf Perancis, Michel Foucault, menyatakan bahwa dalam dunia ini status kita sudah berubah, dari manusia menjadi pemirsa. Kalau ditelaah secara singkat ya memang kita melihat, berbagai visual, entah itu baik, buruk, berguna, ataupun provokatif. Intinya kita ini kan manusia visual, homo piktorikus atau homo photogenikus jika menurut seniman asal Catalan, Joan Fontcuberta.
Semua jenis media, iklan, produk berlomba-lomba menyajikan visual yang tujuannya homogen, yaitu membeli. Sajian visual koran kita bagaimana ya? Saya rasa hampir sama dengan koran 50 tahun yang lalu. Ketika literasi visual masyarakat sudah bosan dengan penuhnya teks dalam koran, apa mungkin kita ini bosan dengan tampilan visual koran sehingga malas untuk membelinya?
Jadi mungkin satu-satunya media di Indonesia yang tidak pernah berubah penampilannya adalah KORAN. Koran sama sekali tidak pernah mau memper-centil tampilannya. Jangan bandingkan dengan koran online (yang juga tidak centil-cetil amat), karena saya tidak membahas konvergensi media. Saya bicara koran. YA. Koran edisi cetak, yang bisa dibaca, diserap informasinya, dilihat fotonya, dianalisa siapa reporter dan fotografernya, yang bisa dirasakan, dipegang, dibau, bahkan sampai diduduki, dijadikan lap kaca, dijadikan alas. Membeli koran seolah bertujuan akhir untuk dijadikan tumpukan kertas bekas, yang di akhir semester diloakkan. Jika anda bertanya, kapan terakhir membeli koran? Mungkin akan saya jawab seperti teman saya itu, "buat apa beli koran?".
Jadi mengapa desain koran kita terasa begitu membosankan?
Jawabannya simple, karena saya telah berkenalan dengan seseorang bernama Jacek Utko. Jika anda belum kenal ya monggo silahkan di google sendiri. Melalui TED, Utko berpidato dengan sangat impresif, menggugah dan informatif. Utko menyatakan "GIVE POWER TO DESIGNER..." Satu-satunya alasan mengapa koran tempat Utko bekerja mengalami peningkatan dalam oplah penjualan adalah karena desain koran. Sebuah cita-cita yang dilontarkan kepada neneknya saat ditanya pengen jadi apa kelak. Budaya kita pasti akan menjawab dokter, pilot dan berbagai profesi normatif. Utko memang nyeleneh, mana ada designer yang tidak nyeleneh. Dia hanya berkilah "I WANT TO MAKE A POSTER..." Lihat saja bagaimana dia memper-centil halaman depan koran menjadi sebuah kombinasi antara design dan context, layaknya Yin dan Yang yang saling melengkapi.
Sungguh anggun, elok, mboyz, ciamso, ciamcling, elegan jika saya melihat dan membaca halaman depan koran Puls Biznesu diatas. Jika mau dianalisa lebih lanjut dengan teori gestalt, multimodality Theo van Leuween, atau semiotika Roland Barthes, atau picture theory dari WTJ. Mitchel, maka akan didapat sebuah gambaran utuh mengenai filosofi sebuah halaman muka dari sebuah koran.
Ada satu hal lagi pernyataan dari Utko terkait konten untuk koran di halaman dalam. Konsep halaman tunggal di upgrade menjadi sebuah double spread yang informatif, kaya, menarik, bahkan terkesan menimbulkan efek WOW setiap membuka halaman koran. Bayangkan posisikan anda di tempat itu, maka anda akan setuju dengan Utko. Sebuah usaha yang sangat yahud dari seorang Utko. Paling yang tidak setuju adalah jajaran redaksi karena ada kepentingan kekuasaan, kapitalis, neoliberalis atau apapun itu istilahnya yang berhubungan dengan kuasa dan uang.
Menurut pengalaman saya dan pandangan rekan-rekan saya, koran itu lebih mementingkan porsi berita tulis daripada tampilan visual. Saya pernah kerja untuk sebuah koran nasional, teman kuliah saya bekerja sebagai layouternya. Istilahnya saya sudah bikin ngilu. Mereka sejatinya desainer yang memiliki jiwa kretif yang terbelenggu. Fotografer apalagi, harus duduk mati-matian agar fotonya tidak dicrop abis-abisan oleh redaktur. Jika konsep double spread diberlakukan, maka saya yakin sujud syukur semua pewarta foto dan desainer media cetak. Mengapa? Karena dimensi koran yang mencapai 2x kertas A3 itu akan mengakomodir karya fotografer dan designer, serta para reporter yang sudah menulis beritanya dengan penuh perjuangan. Intinya penghargaan dan apresiasi. Dan satu hal yang paling penting adalah pembaca akan menghargai setiap halaman yang ada di dalam koran. Lalu mereka akan mengubah perilaku mereka dengan membeli koran. Dengan modal tampilan depan yang mirip poster serta aplikasi dari double spread membuat oplah koran di tempat Utko bekerja naik drastis. Jika oplah naik, maka tidak perlu ada iklan yang terlalu banyak, atau iklan terselubung, atau liputan titipan. Idealisme media mungkin bisa lebih terjaga. Mungkin lho ya...
Sumber semua gambar: screenshoot video TED dan http://blog.ted.com/the_fate_of_the/ |
Salam-salaman,
Radityo Widiatmojo
0 Response to "Mengapa desain Koran di Indonesia membosankan?"
Posting Komentar