"Teacher, teacher, saya mau ijin boleh? mau ngerjain tugas, soalnya hari Senin dikumpul. Kan kalau Sabtu Minggu ga ada waktu... Materi hari ini penting apa gak penting penting amat?" Kalimat ijin murid saya yang cukup detail ini saya balas "PENTING, karena materi hari adalah tentang Photobook seperti ini..." Lantas dia berucap "Wahhhh keren, keren, keren... aku mau bikin buku.. trus ini gimana ya teacher? Ya sudah saya ikut kelas dulu deh..." Dialog singkat ini menunjukkan betapa antusiasnya murid saya terhadap sesuatu yang baru bagi mereka.
Saya senang sekali ketika pihak sekolah setuju saja dengan kurikulum fotografi yang akan saya sampaikan di kelas. Apalagi memasukkan materi Photobook sebagai tujuan akhir kelas fotografi. Saya membawa beberapa photobook untuk bahan diskusi kelas, yaitu Illusion karya mbak Ng Swan Ti, Tanah Yang Hilang karya mas Mamuk Ismuntoro, JKT karya Fanny Octavianus, dan Solitude karya saya sendiri (masih dalam bentuk dummy).
Menarik untuk disimak adalah komentar dari murid-murid yang baru pertama kali melihat dan membolak-balik photobook yang ada. 1 meja saya beri 1 photobook. "Teacher, ini kok serem amat?" "Fotografernya perempuan ya?" "Misterius teacher..." Begitulah komentar salah satu murid ketika "membaca" buku karya mbak Swan Ti. Photobook JKT pun tak kalah seru. "Wih keren keren, seperti permainan mata, eye games teacher.." "Baru sadar kalo ternyata ada huruf JKT di cover kalau di gerak-gerakin.." Beda buku memang beda komentar. "Teacher, ini punya teacher ya? Lucuuuuuu, kecil, keren teacher.." Lalu komentar buku mas Mamuk malah lebih dasyat. "Serius teacher ini Pemerintah yang ngeluarin buku ini? Ini sertifikat asli?"
Saya selalu mengingat kata-kata dari mbak Swan sewaktu program PPG 2013 silam, "motret itu pakai hati..." Murid-murid saya pun saya beri waktu untuk melakukan identifikasi diri, dengan menuliskan hal-hal yang mereka suka dan tidak suka. Ketika harus memvisualkan hal-hal yang mereka suka, atau tentang masa lalu, sudah saya duga bahwa mereka akan melakukan setidaknya refleksi diri sebelum memotret. Ada yang motret tempat sampah, "Saya motret ini karena saya ingat tugas pertama kali di semester kemarin, tempat ini bagian dari masa lalu saya...". "Saya benci orang buang sampah sembarangan, makanya teacher saya motret sampah ini..." "Ini mengenaskan teacher, daunnya pada rontok, kasihan (sambil menunjukkan foto ranting-ranting kering di foto dari atas)". Class activity kecil ini merupakan bukti bahwa imajinasi murid-murid saya ini sesuai dengan pengalaman pribadi masing-masing, dan saya menghargai apapun yang mereka foto asalkan mereka bisa membuat sebuah argumentasi yang (setidaknya) rasional. Tak ada yang motret dengan mengandalkan bokeh-bokeh. Dalam waktu 20 menit mereka menghasilkan karya yang bersifat personal. Ini merupakan start yang bagus untuk membuat sebuah photobook, dimana diperlukan intuisi, refleksi atas diri sendiri lalu dituangkan dalam sajian visual dibalut dengan cerita yang bersifat personal. Hal ini bisa terjadi ketika motret dengan hati. Dirasakan.
Murid-murid tampak sangat antusias dengan hal-hal yang demikian. Diberi tantangan motret dengan tema tertentu pun mereka antusias, karena mereka mengaplikasikan fotografi dalam ranah yang personal. Tanpa ada tekanan atau tendensi untuk mendapatkan ribuan "LIKE" di sosial media. Mungkin moda pembelajaran seperti ini bisa menjadi acuan untuk fotografi Indonesia yang lebih baik. Asal tahu saja ya, Photobook menjadi salah satu mata kuliah di program Master Visual Communication di kampus IED di benua Eropa. Maka dari itu saya ngotot photobook harus ada di kurikulum fotografi di sekolah saya. Terima kasih ibu Tata yang mengijinkan hal ini terjadi. Semoga nantinya murid-murid bisa menghasilkan karya-karya yang lebih personal.
Salam,
Radityo Widiatmojo
0 Response to "Memperkenalkan Photobook kepada murid sekolah"
Posting Komentar