Sepulang dari Depok, saya mendapati ada sebuah paket dibungkus rapi. Dan ternyata isinya adalah photobook karya Aji. Namun tidak segera saya buka, karena saya harus bercengkerama dengan anak saya yang berusia 16 bulan. Saya bermimpi suatu saat anak saya bisa seperti Picasso, berkarya sesuai dengan mimpinya. Pada malam hari baru saya bisa bebas menikmati photobook yang berwarna merona ini sambil terbawa mimpi.
Mimpi, sebuah ilusi yang ada di alam bawah sadar dan sadar manusia, yang bisa membawa manusia pada sebuah pergerakan yang tak lazim. Manusia bermimpi karena mempunyai keinginan untuk bermimpi. Mimpi menurut Sigmund Freud merupakan tindakan nyata dari si pemimpi. Artinya mimpi adalah sebuah realita yang dibangun oleh kesadaran manusia. Saya adalah seorang pengingat mimpi yang baik. Saya masih ingat berbagai mimpi dari tidur saya dahulu. Masih terasa sampai sekarang berbagai mimpi itu. Buku ini seolah mengajak saya untuk kembali mengingat, mengulang dan menelaah mimpi yang telah hadir dalam kehidupan saya. Itu harapan saya terhadap buku ini.
Buku ini dibalut oleh selimut kertas berwarna merah dan terdapat artist statement di tengahnya. Pemilihan hardcover sebagai material cover tentu menegaskan bahwa mimpi itu tidaklah semudah dan seindah yang dibayangkan. Lalu sekilas imajinasi saya terbawa ke sebuah nama fotografer yang sangat saya idolakan, yaitu Trent Parke. Ehmmm... Halaman berikutnya terdapat tulisan tangan Aji. Yang saya perhatikan adalah kata "Enjoy my dreamland, have a nice surreal journey". Secara tak langsung Aji menyarankan untuk menikmati mimpinya dia. Apakah nikmat menikmati mimpi seseorang, baik itu secara visual, virtual ataupun tekstual? Bagaimana jika saya ingin membawa imajinasi saya ke dalam buku ini? Terjadi debat kusir selama beberapa menit didalam benak saya sewaktu membaca tulisan tangan Aji ini. Namun saya tetap kekeh untuk menggunakan logika mimpi saya untuk membaca buku ini.
Oke saya buka halaman berikutnya, yang seperti saya duga, tidak ada apa-apa. Double spread tanpa tetesan satu titik tinta sekalipun, putih dan bersih. Mengingatkan akan perkataan Profesor Alois Nugroho tentang kertas putih, dimana hidup kita ini seperti kertas putih lalu diisi dengan goresan-goresan tinta yang akan menjadi pengalaman hidup manusia. Senyum simpul pun hadir di wajah saya, namun ketika saya membuka halaman berikutnya senyuman saya sedikit menyurut bersamaan dengan dahi saya. Perasaan heran melihat sebuah imaji yang membuat mata sedikit silau. Ada apa gerangan? Bukannya terbawa mimpi, malah saya teringat film kartun favorit anak saya, Gazon. Selanjutnya saya disuguhi dengan foto yang mengingatkan saya kepada foto white ballon-nya Trent Parke. Saya buka lagi halaman berikutnya. Kali ini ada sebuah foto yang disajikan semacam buku mini nomer telpon, yang menurut saya cukup unik. Yang unik lagi adalah adanya kata quote dari Harumi Murakami yang menyatakan bahwa apa yang kamu lihat dengan matamu tidak sepenuhnya nyata. Lalu ada tulisan judul buku dan pengkarya. Ooooooo, Aji mengajak saya untuk melakukan semacam ritual "pendahuluan/kata pengantar" ala textbook. Makanya saya tetap dalam keadaan "Masih". Masih tetap tidak ada stimulus untuk bermimpi.
Dengan penuh semangat saya membuka halaman berikutnya. Saya mendapati imaji yang sangat mirip dengan idola saya, lagi-lagi Trent Parke. Foto yang mirip dengan cover buku Minutes to Midnight, bedanya hanya dilokasi dan subjeknya saja serta tonalnya. Identik sekali dengan Trent Parke. Memang di dunia fotografi tidak ada yang dinamakan plagiarisme. Namun bagi saya pribadi, yang hampir bisa menemui Trent Parke secara langsung, tidak bisa melihat ini sebagai mimpi Aji. Foto ini sangat identik dengan Trent Parke. Oh tidak, halaman ini membuat saya berpikir apakah seorang Aji bermimpi menjadi seorang Trent Parke? Sehingga mulai dari teknis hingga style sungguh mirip Trent Parke? Oh tidak, saya mengalami jalan buntu untuk membaca mimpi saya melalui karya seorang Aji. Kesal dengan situasi ini, saya membuka secara acak dan membawa teks "We all dream and die alone". Bukannya bermimpi malah saya teringat akan teks yang ada di photobook karya Ng Swan Ti yang berjudul Illusion. Buku tersebut memberikan efek ilusi yang khas, sampai-sampai saya ingat layout khas dengan teksnya yang berbunyi "Living Laughing Crying Loving..." Kemiripan kembali lagi terjadi. Pun demikian dengan perasaan saya, yang kembali kecewa karena tidak bisa membaca mimpi dari buku ini.
Maaf, saya tutup dulu bukunya. Akan saya selesaikan besok malam dengan keadaan yang lebih garang. Malam ini saya ingin menikmati mimpi saya sendiri lewat keluarga kecil saya.
VDT - Tangerang Selatan pkl. 21.48 WIB
Salamimpi,
Radityo Widiatmojo
0 Response to "Membaca Mimpi: quick Review photobook Recollect Dreams karya Aji Susanto Anom"
Posting Komentar