Edukasi Fotografi: teknis urusan belakangan


Saat ini siapapun bisa mempelajari fotografi dari internet, terutama dari youtube. Melihat video tutorial bisa menjadi fotografer instan, lengkap pula dengan perilaku serta visi yang instan. Internet memang menjadi jendela dunia, jendela pengetahuan tanpa batas, meski kadang tak selaras. Dahulu saya selalu berburu tutorial teknis pemotretan, dari kaskus sampai amazon saya telusuri. Dari Fstoppers, podcasts di iTunes sampai subscribe channel fotografi di youtube. Duduk di depan monitor dengan mantengin video sampai larut malam pun pernah saya lakukan, hanya satu tujuan, demi mencapai hasil foto yang sempurna secara teknis, ya mirip-mirip para jawara Salon Foto. Walhasil ternyata juga harus update Software. Yang namanya icon software editing  ada semua di desktop saya. Software Photoshop pastilah, lalu ada ratusan action dan preset di photoshop, lightroom beserta ratusan preset, mystical magic, On software, software resize, penghalus wajah sampai HDR ada semua. Yakinlah semua software sudah saya coba, komputer hang, edit 1 foto hingga seharian, nambah memori dan harddisk biar ngeditnya cepat. Dan pada suatu titik saya hanya merenung dalam bahasa jawa, "kabeh iki gawe opo sih?" I am not a digital artist. Saya memasukkan terlalu banyak pengetahuan tentang bagaimana menghasilkan foto dengan teknis yang sempurna.


Saya merasa bersyukur pernah merasakan momentum seperti ini. Setidaknya itu semua bisa menjadikan saya sebagai seorang edukator di bidang komunikasi visual yang baik, khususnya fotografi. Berbicara tentang edukasi, 2 tahun belakangan ini saya sering sekali dimintai tolong untuk membuat silabus terkait fotografi. Ada yang untuk program 1 tahun, ada yang untuk 6 bulan. Ada silabus yang dipakai namun lebih banyak silabus yang tidak dipakai.

Pada awalnya saya menyusun silabus berdasarkan tingkatan, ya klasik lah, basic, intermediete dan advance. Basic itu berisi kumpulan materi-materi dasar, seperti operasional kamera, pencahayaan dan komposisi. Intermediete lebih hebat dari basic. Advance lebih sok tau lagi dari intermediete. Ini benar-benar pembagian yang saklek, macam sd-smp-sma, jenjang pendidikan. Adakah masalah disini? Sama sekali tidak ada, lha wong berbagi ilmu itu kan banyak pahalanya.

Saya pun mencari informasi kursus fotografi di Jakarta dan kota besar lainnya. Ada keseragaman dalam kurikulum yang dibuat. Selain pembagian yang saklek tadi, juga berat pada porsi teknis. Ini mengindikasikan adanya leader yang diikuti follower, terutama nama-nama terkenal. Sebenarnya tidak ada masalah dengan mengutamakan faktor estetika dalam fotografi, namun jika tidak diimbangi dengan sisi fotografi lainnya, maka ada konsekuensi logisnya di masa mendatang, terutama ketika berhadapan dengan dunia sosial media.

Konsekuensi dari edukasi yang sudah terlanjur berat pada porsi teknis dalam beberapa tahun terakhir adalah terciptanya generasi fotografer instan yang ingin eksis di dunia sosial media. Sungguh facebook dijadikan barometer literasi visual anak muda jaman sekarang. Mereka memang berlomba-lomba menghasilkan foto yang bagus, bagus secara teknis.

Saya membayangkan jika 10 tahun terakhir dipenuhi dengan workshop yang mengusung Fotografi sebagai medium bercerita, mungkin saat ini banyak fotografer muda yang sudah melanglang buana mencari ilmu yang bisa mendukung proses fotografi mereka. Mungkin akan lahir grup-grup fotografi facebook yang berbau visual story teller. Itu hanya bayangan saja, semoga menjadi kenyataan.

Ketika di dunia luar sana sudah ramai dengan adanya kelompok Semiotikan, periset visual, dokumentarian, PhotoBook, dll, di sini masih saja mengutamakan teknis. Padahal fotografi hanya secuil ilmu yang ada dalam kajian komunikasi visual, kajian semiotika, kajian seni budaya, kajian seni visual, kajian psikologi dan kajian-kajian lainnya.

Rafa menunjukkan hasil fotonya kepada teman-teman sekelasnya.
Lantas bagaimana dengan alternatif edukasi fotografi ke depan? Saya perlu waktu 6 bulan untuk mencoba sesuatu yang baru dalam hal edukasi fotografi. Januari 2015 saya mulai mengajar di salah satu SMP swasta di Depok. Kurikulum yang saya ajukan adalah terkait dengan Art of Seeing, yang didasarkan pada pemikiran John Berger dan David Prakel. Teknis saya ajarkan belakangan sembari melatih kemampuan "melihat" siswa-siswi SMP. Mereka tidak mempunyai kamera dan 3/4 isi kelas belum pernah pegang kamera sebelumnya. Dari minggu ke minggu saya hanya ajarkan Art of Seeing beserta sedikit teori Gestalt.

Dampak metode ini adalah siswa sama sekali tidak pernah menanyakan yang namanya bokeh, atau yang namanya death center. Tidak pernah pula bertanya merk kamera apa yang bagus, atau lensa apa yang bagus. Untuk pertama kalinya dalam mengajar fotografi, saya mendapati mementum seperti ini. Senang sekali ketika mereka selalu bertanya cara melihat yang baik. Berikut ini adalah contoh dari 2 siswa yang saya ajar.



Porsi utama dalam kurikulum yang saya buat adalah "cara melihat" karena saya sakin fotografi adalah seni melihat, bukan seni memotret. Kamera hanyalah kepanjangan dari mata kita. Kejelian 2 siswa dalam mencari sudut pengambilan gambar dan momentumnya membuat fotonya jauh lebih komunikatif. Teknis fotografi akan selalu menyesuaikan dengan apa yang hendak disampaikan, cerita apa yang hendak dikomunikasikan. Yang menjadi catatan adalah mereka hanya pegang kamera saat kelas fotografi, artinya mereka pegang kamera dan motret ya seminggu sekali, namun mereka bisa mengaplikasikan seluruh materi yang saya sampaikan. Terharu saya...

Saya hanya menawarkan sebuah alternatif edukasi fotografi. Bisa jadi saya salah, namun setidaknya siswa-siswi saya ini merupakan contoh ketika mereka tidak berbekal wawasan tentang teknis (khususnya bagaimana membuat foto bokeh). Oleh karena itu menurut hemat saya, faktor teknis itu urusan nomer wolulikur (28), yang pertama adalah kemampuan membaca foto dan way of seeing. Bagi saya fotografi akan lebih indah jika digunakan sebagai medium untuk bercerita, bukan medium untuk mengumbar hawa.

Selamat berpuasa
bagi yang berpuasa.

2w_^

0 Response to "Edukasi Fotografi: teknis urusan belakangan"

Posting Komentar

Entri Populer