|
©Iwan Baan |
Iwan Baan, sebuah nama yang menurut saya adalah nama orang Indonesia, ternyata bukan. Iwan Baan adalah seorang fotografer arsitektur dari Belanda, yang telah mendunia. Wall Street Journal saja menyebut Iwan sebagai "The Indiana Jones of Architect Photography". Helicopter shots mungkin menjadi trademark Iwan, apalagi setelah badai Sandy yang dia foto sesaat sebelum sampai kota New York (foto diatas).
Tumbuh berkembang di sekitaran Amsterdam, Iwan melewati masa remajanya dengan suka cita. Ayahnya adalah seorang pastur yang mengajak Iwan tinggal di daerah yang teriolir oleh listrik. Walau terisolir, pada saat umur 12 tahun Iwan sudah memiliki kamera 4x5in sendiri. Untuk mengembangkan ketertarikannya akan fotografi, Iwan menempuh studi fotografi di Royal Academy of Art, di daerah the Hague. Di sekolah ini, Iwan ternyata hanya ada sedikit ketertarikan akan dunia arsitektur. Bahkan dia dropout dari sekolah ini karena bersitegang dengan gurunya yang tidak menyukai hal-hal yang berbau digital. Selepas dari sekolah itu, Iwan justru lebih mendalami fotografi dokumenter.
Ketertarikan Iwan akan dunia arsitektur berawal dari sebuah kebetulan. Ketika dia berkunjung di sebuah studio arsitektur milik Rem Kolhaas di Rotterdam, Iwan langsung terkagum dan ingin mendalami arsitektur. Tak lama setelah pengajuan proposal kepada Rem Kolhaas, kemudian Iwan di hire untuk mendokumentasikan konstruksi China Central Television (CCTV). Sebagai fotografer dokumenter saat itu, Iwan tidak hanya mendokumentasikan pembangunan CCTV yang didesain oleh Rem Kolhaas, namun juga kehidupan para pekerja dan kehidupan sosial di sekitar CCTV. Bagi kepentingan artistik, banyak fotografer yang menghapus unsur-unsur selain non-konstruksi demi mendapatkan clear view dari sebuah bangunan. Namun tidak demikian dengan Iwan. Dia tidak tertarik dengan konsep super clean shot, karena bagi Iwan tugasnya adalah mendokumentasikan "around the architecture." Inilah yang membedakan dirinya dengan fotografer arsitektur lainnya yang selalu berusaha mengisolasi bangunan. Iwan justru memasukkan konteks urban dan kehidupan sosial disekitar bangunan.
Bagi Iwan, sebuah publikasi di majalah merupakan hal terpenting dalam menunjang karirnya. Hasil akhir dari setiap fotonya adalah hasil print, entah itu di majalah, buku ataupun pameran. Tak lengkap jika seorang fotografer handal tidak menerbitkan buku. Sebagai primadona di dunia fotografi arsitektur, Iwan sudah menerbitkan 15 buku. Buku-buku Iwan kebanyakan merupakan hasil dari long term project.
Project foto yang paling saya suka dari pria kelahiran 8 Februari 1975 ini adalah Torre de David. Sebuah bangunan skyscaper yang setengah jadi karena sang arsitek meninggal dunia pada tahun 1993 lalu dibarengi dengan runtuhnya ekonomi Venezuela. Lalu gedung pencakar langit tersebut menjadi hunian bagi 3000 orang. Berikut cerita Iwan mengenai project ini:
|
©Iwan Baan |
"Sekitar lebih dari 3 tahun yang lalu saya berada di Caracas, Venezuela untuk pertama kalinya, dan ketika terbang di atas kota itu, saya sangat kagum melihat betapa gubuk-gubuk kumuh menjangkau setiap sudut kota, sebuah tempat di mana 70% populasinya tinggal di gubuk kumuh, benar-benar menyelimuti seluruh wilayah pegunungan.
|
©Iwan Baan |
Ketika bercengkerama dengan arsitek lokal dari Urban Think Tank, saya jadi tahu tentang Torre David, sebuah gedung perkantoran 45 lantai yang berada tepat di pusat Caracas. Bangunan itu sedang dalam proses pembangunan sebelum perekenomian Venezuela ambruk dan developer-nya meninggal di awal tahun 90-an. Sekitar 8 tahun yang lalu, orang-orang mulai pindah ke menara yang terbengkalai itu dan membangun tempat tinggal mereka tepat di antara tiang-tiang bangunan yang belum selesai itu.
|
©Iwan Baan |
Hanya ada satu pintu masuk kecil ke gedung itu, dan 3.000 penghuni keluar-masuk melalui satu pintu itu. Bersama-sama, para penghuninya menciptakan tempat publik dan membuatnya terasa seperti rumah dan tidak lagi seperti menara setengah jadi. Di lobi, mereka mengecat dinding-dindingnya dan menanam pepohonan. Mereka juga membuat lapangan basket. Tapi apabila Anda lihat lebih dekat, Anda dapat melihat lubang besar di mana lift dan fasilitas lain yang seharusnya terpasang.
|
©Iwan Baan |
Di dalam menara, orang-orang menciptakan bermacam-macam jalan keluar dan solusi untuk menjawab berbagai kebutuhan mereka yang muncul karena mereka tinggal di menara yang belum jadi. Tanpa lift, menara itu harus dicapai dengan berjalan kaki setinggi 45 lantai. Didesain sedemikian rupa oleh sekelompok orang yang tidak memiliki latar belakang pendidikan di bidang arsitektur maupun desain. Dengan setiap penghuni yang memutuskan cara mereka sendiri untuk hidup di sana, menara ini menjadi seperti sebuah kota hidup, sebuah tempat yang hidup dengan berbagai kegiatan ekonomi mikro dan bisnis kecil. Para penghuni yang penuh daya cipta, misalnya, mereka menemukan berbagai kesempatan dari keadaan yang tidak terduga, seperti garasi parkir paralel yang diubah menjadi rute taksi untuk mengantar-jemput para penghuni melewati tanjakan agar mempersingkat perjalanan mendaki mereka ke unit-unit apartemen di atas.
|
©Iwan Baan |
Apabila Anda berjalan di sepanjang menara itu Anda akan melihat bagaimana para penghuninya mencari cara sendiri membangun dinding-dinding, membuat saluran ventilasi udara, bagaimana mereka menciptakan sebuah transparansi, sirkulasi di seluruh menara, dan menciptakan tempat tinggal yang sepenuhnya disesuaikan dengan kondisi situs itu. Ketika ada penghuni baru yang pindah ke menara itu, mereka sudah punya atap di atas kepala mereka, jadi mereka hanya menandai wilayah mereka dengan beberapa helai tirai atau kain seprai. Perlahan, dari bahan bangunan yang mereka temukan, mereka membuat dinding, dan orang-orang membuat ruangan dari objek atau materi bangunan yang mereka temukan.
Sangat mengagumkan melihat berbagai keputusan desain yang mereka buat, seperti ketika semuanya dibuat dari bata merah, beberapa penghuni akan menutupi bata merah itu dengan satu lapisan kertas dinding bermotif bata merah sekadar untuk membuatnya terlihat sudah selesai sepenuhnya.
|
©Iwan Baan |
Para penghuninya benar-benar membangun rumah-rumah ini dengan tangan mereka sendiri, dan pekerjaan penuh cinta ini menanamkan perasaan bangga yang sangat besar bagi banyak keluarga yang tinggal di menara ini. Biasanya mereka berusaha memanfaatkan kondisi yang ada dengan sebaik-baiknya dan berusaha untuk membuat ruangan mereka terlihat bagus dan nyaman, atau setidaknya sedapat yang mereka bisa lakukan. Di seluruh menara, Anda bisa melihat berbagai fasilitas, seperti tukang cukur, pabrik kecil-kecilan, dan setiap lantai mempunyai sebuah toko kelontong atau kedai. Anda bahkan akan menemukan sebuah gereja di sana. Dan di lantai 30, ada sarana kebugaran di mana alat angkat berat dan barbelnya dibuat dari katrol-katrol sisa dari lift yang tidak pernah dipasang. Dari luar, di balik perubahan yang selalu terlihat, Anda bisa melihat bagaimana balok-balok beton itu menjadi suatu kerangka bagi para penghuni untuk membangun rumah mereka dengan cara yang organik dan penuh intuisi untuk menjawab kebutuhan mereka...." (this is an original text from TED Talk)
Ada juga penjelasan project ini via
vimeo:
Yang menarik dikaji adalah bagaimana pendekatan yang dilakukan oleh Iwan dalam melakukan projek ini. Bergelut di dunia arsitek tidak membuat dirinya surut untuk membuat karya dokumenter. Justru dengan luasnya wawasan tentang arsitektur, Iwan mampu menghadirkan sebuah karya dokumenter yang sangat erat kaitannya dengan arsitektur. Ilmu selain fotografi sangat menunjang fotografer dalam berkarya. Jadi memang benar pepatah "tuntutah ilmu sampai ke negeri china..." Perbanyak wawasan dan pengetahuan demi karya yang lebih dalam.
Salam hangat,
2w_^
sumber foto: www.iwan.com
0 Response to "Iwan Baan: antara Fotografi Arsitektur dan Dokumenter"
Posting Komentar